Jakarta, kotaku tercinta, hampir seluruh hidupku kuhabiskan di kota ini. Semenjak kulahir hingga hari ini. Jakarta saat ini jauh berbeda dengan Jakarta 22 tahun silam. Masih teringat jelas dalam benakku, dulu Aku senang sekali bermain di pinggir sawah ataupun empang kecil di depan rumahku. Berlari di tanah lapang sambil mengejar layangan putus bersama kakakku dan beberapa anak kampung, menyolong pohon bambu dari rumah tetangga hanya untuk di jadikan pletokkan, memotong pohon pisang untuk kemudian di jadikan pedang-pedangan hingga memanjat pohon mangga yang berada di rumahku.
Jakarta dulu hingga sekarang memang tetap indah, namun keindahannya berbeda, jika dulu Jakartaku asri dengan hijaunya pepohonan sekarang Jakartaku metropolitan dengan gedung-gedung pencakar langitnya dan ruas-ruas jalan yang dipadati ribuan kendaraan.
Sedari kecil hingga sekarang Aku sangat senang mengitari Jakartaku dengan kendaraan umum, dari mulai bemo, bajaj, mikrolet, metromini, bus patas hingga busway, yang kata orang lebih nyaman ketimbang bus kota biasanya, padahal Assstaaagaaaa.....boro-boro nyaman mo gerak aja susah gimana mo dibilang nyaman, aaah.. sudahlah saat ini Aku tidak sedang ingin membicarakan busway.
Kembali ke Jakartaku, dari sekian lama menggunakan kendaraan untuk mengitari Jakarta, Aku selalu lebih memilih duduk di sebelah kiri, ya..kalau naik mobil maka posisiku berada di sebelah dipengemudi, jika aku naik patas ac maka Aku lebih memilih duduk di bangku dua tepat disebelah jendela. Entahlah terkadang hampir selama perjalanan Aku sangat menikmati pemandang yang kulihat dari jendela yang berada disebelah kiriku, dari sini aku bisa melihat dengan jelas pemandangan trotoar yang telah berganti wajah dengan warna merah, jejeran gedung-gedung pencakar langit yang berbaris di jalan Sudirman, orang-orang hilir mudik, para pedagang kaki lima menjajakan segala macam jajanan. Jauh berbeda bila Aku harus duduk di sisi sebelah kanan, yang ada hanya pusing karena harus melihat pemandangan kendaraan yang lalu lalang, kemacetan, hingga garis-garis pembatas jalan yang putus-putus.
Dari sisi kiriku, Aku sadari bahwa Jakartaku adalah sebuah kehidupan yang terus berkembang, dari jendela ini dapat kunikmati hidup di Jakarta, hingga rasanya tak ingin kuberanjak dari dalam bus kota yang membawaku berkeliling Jakarta. Semua karena satu alasan, dari dalam bus ini Aku tidak merasakan kerasnya hidup di Jakarta yang akan Aku hadapi ketika kaki ini sudah melangkah turun dari dalam bus dan menjalankan semua aktifitasku, yang kulakukan hanya melihat, menikmati pemandang yang disajikan melalui jendela kecil disebelahku hingga terkadang kutertidur pulas karenanya (yah...sambil terkadang berpura-pura tidur untuk menghindari pengamen atau penjual dalam bis kota...). Melihat Jakartaku dalam sebuah jendela seperti menikmati sebuah lukisan, tanpa harus memikirkan lebih dalam bagaimana cara membuatnya atau berapa lama lukisan itu dibuat, Jakartaku adalah sebuah lukisan yang tidak akan pernah berhenti memberikan sebuah cerminan tentang kehidupan.
Jakarta dulu hingga sekarang memang tetap indah, namun keindahannya berbeda, jika dulu Jakartaku asri dengan hijaunya pepohonan sekarang Jakartaku metropolitan dengan gedung-gedung pencakar langitnya dan ruas-ruas jalan yang dipadati ribuan kendaraan.
Sedari kecil hingga sekarang Aku sangat senang mengitari Jakartaku dengan kendaraan umum, dari mulai bemo, bajaj, mikrolet, metromini, bus patas hingga busway, yang kata orang lebih nyaman ketimbang bus kota biasanya, padahal Assstaaagaaaa.....boro-boro nyaman mo gerak aja susah gimana mo dibilang nyaman, aaah.. sudahlah saat ini Aku tidak sedang ingin membicarakan busway.
Kembali ke Jakartaku, dari sekian lama menggunakan kendaraan untuk mengitari Jakarta, Aku selalu lebih memilih duduk di sebelah kiri, ya..kalau naik mobil maka posisiku berada di sebelah dipengemudi, jika aku naik patas ac maka Aku lebih memilih duduk di bangku dua tepat disebelah jendela. Entahlah terkadang hampir selama perjalanan Aku sangat menikmati pemandang yang kulihat dari jendela yang berada disebelah kiriku, dari sini aku bisa melihat dengan jelas pemandangan trotoar yang telah berganti wajah dengan warna merah, jejeran gedung-gedung pencakar langit yang berbaris di jalan Sudirman, orang-orang hilir mudik, para pedagang kaki lima menjajakan segala macam jajanan. Jauh berbeda bila Aku harus duduk di sisi sebelah kanan, yang ada hanya pusing karena harus melihat pemandangan kendaraan yang lalu lalang, kemacetan, hingga garis-garis pembatas jalan yang putus-putus.
Dari sisi kiriku, Aku sadari bahwa Jakartaku adalah sebuah kehidupan yang terus berkembang, dari jendela ini dapat kunikmati hidup di Jakarta, hingga rasanya tak ingin kuberanjak dari dalam bus kota yang membawaku berkeliling Jakarta. Semua karena satu alasan, dari dalam bus ini Aku tidak merasakan kerasnya hidup di Jakarta yang akan Aku hadapi ketika kaki ini sudah melangkah turun dari dalam bus dan menjalankan semua aktifitasku, yang kulakukan hanya melihat, menikmati pemandang yang disajikan melalui jendela kecil disebelahku hingga terkadang kutertidur pulas karenanya (yah...sambil terkadang berpura-pura tidur untuk menghindari pengamen atau penjual dalam bis kota...). Melihat Jakartaku dalam sebuah jendela seperti menikmati sebuah lukisan, tanpa harus memikirkan lebih dalam bagaimana cara membuatnya atau berapa lama lukisan itu dibuat, Jakartaku adalah sebuah lukisan yang tidak akan pernah berhenti memberikan sebuah cerminan tentang kehidupan.
No comments:
Post a Comment