Published : Diamma/07/April/2004
Tragedi Semanggi dalam sejarah Indonesia dianggap sebagai puncak dari segala aksi mehasiswa dalam usaha membangun indonesia baru. Namun, bagaimana keadaan mereka saat ini? Masih adakah nafas kebersamaan untuk Indonesia di esok hari?
Gerakan mahasiswa, mereka memang masih hidup, tapi hidup hanya untuk kepentingan masing-masing, tidak satu seperti dulu. Bila kita ingat Tragedi Trisakti hingga Semanggi I dan dan II, kesatuan, kekompakan seakan menjadi sebuah kekuatan yang besar hingga dapat meruntuhkan dinding kekuasaan Orde Baru. Namun yang ada sekarang hanyalah elemen-elemen mahasiswa yang “hidup” dengan kepentingannya sendiri. “Mungkin ini disebabkan karena perbedaan dari arti reformasi bagi masing-masing elemen,” ujar Pebi, yang pernah tergabung tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UI (2001-2002).
Bisa saja dikatakan seperti itu, reformasi yang diserukan oleh ribuan mahasiswa pada tahun 1998, hanya terfokus pada satu tujuan, yaitu menurunkan Soeharo dari bangku kepresidenan. Setelah itu mereka seolah samar dalam melihat ataupun membedakan musuh yang sebenarnya harus mereka hadapi.
“Eksistensi, kepentingan, dan ideologi dari masing-masing elemenlah, yang membuat gerakan mahasiswa itu terpecah belah,” ungkap Doni, aktivis dari Universitas Atmajaya yang turut serta dalam tragedi 1998.
Perbedaan itu muncul saat gerakan mahasiswa mempunyai pandangan yang berbeda mengenai reformasi itu sendiri. Menurut Bambang Setiawan (Kompas, 4 Februari 2001), perbedaan dimulai saat kepemimpinan Gus Dur, hal itu terlihat munculnya dua tema yang berkembang saat itu (29 Januari 2001). Pertama, BEM dari berbagai kampus menganggap pemerintah telah gagal memenuhi tuntutan reformasi sehingga presiden harus mundur dari kursi jabatannya. Kedua, ada yang beranggapan aksi dilakukan untuk melakukan pembersihan Orde Baru -dimana Golkar dan pendukungnya termasuk didalamya- ini dinilai lebih toleransi terhadap penguasa yang ada saat itu.
Perbedaan persepsi inilah yang seolah memunculkan dua kubu dalam gerakan “kiri” dan gerakan “kanan”. Gerakan mahasiswa “kanan” yang berbasis islam nasionalis menjadi suatu kekuatan yang anti Gus Dur, sedang gerakan “kiri” dan populis justru membela Gus Dur. Kekecewaan besar dialami beberapa partai besar terhadap pemerintahan Gus Dur, seakan merupakan dukungan terbesar bagi gerakan mahasiswa yang anti Gus Dur.
Tidak hanya saat pemerintahan Gus Dur saja, pada masa pemerintahan Megawati perbedaan pun turut mewarnai gerakan mahasiswa. Keputusan pemerintah untuk menaikkan Tarif Dasar Listrik, telepon, dan BBM saat itu, hingga pemerintah merevisi kebijakan tersebut membawa gerakan mahasiswa berada dalam sebuah persimpangan. Ada yang beranggapan bahawa aksi harus diakhiri, karena bila diteruskan itu akan memperburuk citra dari gerakan mahasiswa itu sendiri, dan terjebak dalam kepentingan politik yang sempit.
Namun, dipihak lain memilih meneruskan aksi dimana mereka mulai tergoda akan tujuan politik radikal, dan ingin mempunyai prestasi politik yang sama dengan pendahulu mereka dalam menurunkan presiden dan mengganti pemerintahan yang ada. Mereka menganggap pemerintah tidak peka dengan kondisi rakyat yang ada saat itu , ditambah lagi dengan kebijakan menaikan Tarif Dasar Listrik, telepon, dan BBM.
Lain lagi pendapat Haries, Ketua Umum Front Indonesia Semesta (FIS), “Gerakan “kiri” dan “kanan” itu disebabkan gerakan mahasiswa’98 yang gagal revolusi. Gerakan “kiri” dan “kanan” bisa bersatu jika ada isu bersama,” tambah Haries. Namun ketika ditanya dimanakah posisi FIS sekarang, Haries menuturkan posisi FIS netral.
Akankah mereka bersatu kembali di mas yang akan datang? Itu tergantung dari keadaan situasi nasional, proses pengangkatan isu, analisa, dan agenda kerja. Bila itu dilakukan bersama-sama antar elemen gerakan mahasiswa, kesatuan dan kekuatan besar pasti akan kembali seperti dulu.
-Windri-
Gerakan mahasiswa, mereka memang masih hidup, tapi hidup hanya untuk kepentingan masing-masing, tidak satu seperti dulu. Bila kita ingat Tragedi Trisakti hingga Semanggi I dan dan II, kesatuan, kekompakan seakan menjadi sebuah kekuatan yang besar hingga dapat meruntuhkan dinding kekuasaan Orde Baru. Namun yang ada sekarang hanyalah elemen-elemen mahasiswa yang “hidup” dengan kepentingannya sendiri. “Mungkin ini disebabkan karena perbedaan dari arti reformasi bagi masing-masing elemen,” ujar Pebi, yang pernah tergabung tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UI (2001-2002).
Bisa saja dikatakan seperti itu, reformasi yang diserukan oleh ribuan mahasiswa pada tahun 1998, hanya terfokus pada satu tujuan, yaitu menurunkan Soeharo dari bangku kepresidenan. Setelah itu mereka seolah samar dalam melihat ataupun membedakan musuh yang sebenarnya harus mereka hadapi.
“Eksistensi, kepentingan, dan ideologi dari masing-masing elemenlah, yang membuat gerakan mahasiswa itu terpecah belah,” ungkap Doni, aktivis dari Universitas Atmajaya yang turut serta dalam tragedi 1998.
Perbedaan itu muncul saat gerakan mahasiswa mempunyai pandangan yang berbeda mengenai reformasi itu sendiri. Menurut Bambang Setiawan (Kompas, 4 Februari 2001), perbedaan dimulai saat kepemimpinan Gus Dur, hal itu terlihat munculnya dua tema yang berkembang saat itu (29 Januari 2001). Pertama, BEM dari berbagai kampus menganggap pemerintah telah gagal memenuhi tuntutan reformasi sehingga presiden harus mundur dari kursi jabatannya. Kedua, ada yang beranggapan aksi dilakukan untuk melakukan pembersihan Orde Baru -dimana Golkar dan pendukungnya termasuk didalamya- ini dinilai lebih toleransi terhadap penguasa yang ada saat itu.
Perbedaan persepsi inilah yang seolah memunculkan dua kubu dalam gerakan “kiri” dan gerakan “kanan”. Gerakan mahasiswa “kanan” yang berbasis islam nasionalis menjadi suatu kekuatan yang anti Gus Dur, sedang gerakan “kiri” dan populis justru membela Gus Dur. Kekecewaan besar dialami beberapa partai besar terhadap pemerintahan Gus Dur, seakan merupakan dukungan terbesar bagi gerakan mahasiswa yang anti Gus Dur.
Tidak hanya saat pemerintahan Gus Dur saja, pada masa pemerintahan Megawati perbedaan pun turut mewarnai gerakan mahasiswa. Keputusan pemerintah untuk menaikkan Tarif Dasar Listrik, telepon, dan BBM saat itu, hingga pemerintah merevisi kebijakan tersebut membawa gerakan mahasiswa berada dalam sebuah persimpangan. Ada yang beranggapan bahawa aksi harus diakhiri, karena bila diteruskan itu akan memperburuk citra dari gerakan mahasiswa itu sendiri, dan terjebak dalam kepentingan politik yang sempit.
Namun, dipihak lain memilih meneruskan aksi dimana mereka mulai tergoda akan tujuan politik radikal, dan ingin mempunyai prestasi politik yang sama dengan pendahulu mereka dalam menurunkan presiden dan mengganti pemerintahan yang ada. Mereka menganggap pemerintah tidak peka dengan kondisi rakyat yang ada saat itu , ditambah lagi dengan kebijakan menaikan Tarif Dasar Listrik, telepon, dan BBM.
Lain lagi pendapat Haries, Ketua Umum Front Indonesia Semesta (FIS), “Gerakan “kiri” dan “kanan” itu disebabkan gerakan mahasiswa’98 yang gagal revolusi. Gerakan “kiri” dan “kanan” bisa bersatu jika ada isu bersama,” tambah Haries. Namun ketika ditanya dimanakah posisi FIS sekarang, Haries menuturkan posisi FIS netral.
Akankah mereka bersatu kembali di mas yang akan datang? Itu tergantung dari keadaan situasi nasional, proses pengangkatan isu, analisa, dan agenda kerja. Bila itu dilakukan bersama-sama antar elemen gerakan mahasiswa, kesatuan dan kekuatan besar pasti akan kembali seperti dulu.
-Windri-
No comments:
Post a Comment